“Pacu Jalur” Sepotong Nama Yang Panas

Logo
Melihat dari dekat proses pembuatan jalur di Pangean Kuansing, Riau.

KUANSING - Pacu jalur, sepotong nama yang panas karena isu keterlibatan dukun dimulai sejak awal hingga akhir. Isu ini sangat kaya akan keunikan sehingga pelestarianya terus berlangsung sampai sekarang. Hal ini terbukti setelah melihat sendiri alam dan mendapatkan fakta dari “pengemas jalur” di Desa Kampung Baru Kecamatan Sentajo.  Semua ini membuat kita menarik nafas panjang, karena prosesnya yang melibatkan banyak orang dari awal mencari jalur sampai pertandingan.

Ternyata, alam belantara yang tebal dan luas menjadikan manusianya berpacu menaklukkan alam dengan berbagai cara, makanya “perdukunan” tumbuh subur di sana. Hal ini pernah ditulis UU Hamidy (81) seorang dosen senior dalam bukunya” Dukun Melayu di Rantau Kuantan Riau” pada tahun 1985. Menurut Hamidy, yang ditemui di rumahnya Jalan Bandeng Gg Gurami bahwa dari 8 jenis dukun waktu itu, hanya ada tiga jenis dukun yang bisa beraliran kiri dan kanan, mistik dan agamis. Tiga dukun itu ialah dukun biasa, dukun  harimau, dukun kayu atau dukun jalur. Waktu itu, dukun jalur mencapai 102 orang. Namun, kepercayaan mistik terhadap dukun dalam pacu jalur di masyarakat sudah beransur kurang karena pengaruh ajaran Islam”, kata Hamidy saat ditemui sambil menunjukan buku pacu jalur yang ditulisnya.

Hamidy yang lahir di Benai Siberakun ini  membuat suatu pernyataan  penting bahwa istilah “dukun” di Rantau Kuantan Riau sangat berbeda secara umum, karena dukun tidak selalu berkonotatif buruk, seperti yang membantu proses kelahiran juga disebut dukun, yaitu dukung beranak. Jadi dukun, tergantung dengan pekerjaan apa yang melekat padanya. Tukang kayu bisa juga disebut dukun dengan syarat apabila pengalamannya sudah mencapai di luar nalar, yaitu mistis. “Jangan kalian masuk neraka, membuat syirik dengan hantu-hantu jalur itu” , pesan Hamidy kepada masyarakat Kuantan.

Armiyus Thaib (74), pria kelahiran Pulau Ronge Sukaping Pangean ini menepis peran dukun masih kuat sampai sekarang. “Itu benar ketika zaman tahayul (animisme) dulu masing berkembang, sekarang sudah beransur berkurang”, jelas Armiyus yang dihubungi via ponselnya di Pekanbaru. Armiyus, yang merupakan pensiunan dosen Universitas Riau ini mengajak para pemerhati pacu jalur melihat sendiri peristiwa pacu jalur itu di tempat agar tidak salah paham.

Riwayat pacu jalur memang panjang, karena itu menarik untuk dikaji terus.  Cikal bakalnya sudah ada sejak abad 17 sebagai alat transportasi sungai untuk orang dan penghasilan pertanian setempat, kini jalur menjadi identitas sepanjang zaman. Mulai diperlombakan sejak tahun 1905. Pendek cerita perlombaannya sudah menjadi event nasional  -- yang enak ditonton dan perlu pada setiap akhir bulan Agustus, untuk memeriahkan hari kemerdekaan RI.

“Dulu, pada  zaman penjajahan Belanda, pacu jalur pernah digunakan untuk merayakan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelkina pada setiap 31 Agustus”, jelas Bupati Kuansing, Dr H Suhardiman Amby MM, usai makan siang dihadapan rombongan ekspedisi jurnalistik PWI Riau, 8 Juni 2024 di Taluk Kuantan.  

Mengapa “sayap” pacu jalur semakin lebar? Sehingga selain sejarahnya yang panjang sehingga ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia bukan benda oleh Kementerian Pendidikan dan Pariwisata dan menjadi 10 besar event dalam kalender pariwisata nasional, sebagai tontonan yang menarik, baik dilihat secara langsung atau melalui media?

Hal ini membuat penasaran, ada apa dengan pacu jalur? Setelah dua hari berada di Desa Kampung Baru Kecamatan Sentajo Raya dan pelaksanaan Pacu Jalur Rayon di Kecamatan Pangean 8 dan 9 Juni 2024 terasa mendapatkan sebagian jawabannya mengapa pacu jalur itu mengakar sejak abad 17 sampai sekarang di masyarakatnya.  Setelah Tim ekspedisi menerima penjelasan di lokasi pembuatan jalur dari pj Kepala Desa Kampung Baru Sentajo, Mashuri, ketua jalur, tukang jalur dan ninik mamak serta masyarakat desa, benar ternyata dalam pacu jalur itu lahir karena didukung oleh hutan rimba luas dan aliran sungai yang panjang, masih berkesan sampai sekarang. Makanya tersedianya terus kayu untuk jalur dan tertanamlah rasa memiliki yang tinggi.

Nilai Gotong Royong
Berbagai nilai ditemukan dari event pacu jalur ini. Seperti nilai musyawarah untuk mufakat, patuh pada pemimpin, gotong royong, nilai pengorbanan, nilai juang, nilai persaudaraan, nilai religi dan seni. Sebuah jalur yang sekarang bisa dibuat dalam dua minggu ternyata bisa melibatkan orang sampai satu kecamatan. Sampai dua sampai tiga ribu orang. Saat dihela ke tempat pacu jalan jadi macet total. Prosesi hela diakhiri dengan makan bersama. Serunya pada saat pacu jalur bukan hanya masyarakat setempat yang hadir tetapi juga yang ada diperantauan dari semua unsur.

Syafril Manaf (70) sebagai salah tokoh masyarakat yang memiliki usaha penginapan di Taluk Kuantan merasakan hal itu dari tahun ketahun setiap ada event pacu jalur penginapan selalu penuh. “Sehingga ada yang menginap di rumah penduduk”, tegas Syafril Manaf yang pernah menjadi anggota dewan ini dan 28 tahun terlibat dalam panitia pacu jalur tingkat kabupaten, yaitu sejak 1982.

Mengingat hebatnya rasa memiliki (sense of belonging) bersama inilah maka tema yang diusung  “Pangean Barolek” , jelas Serka Syaharani, selaku Ketua Kelaksana pacu jalur Rayon II, Kecamatan Pangean, saat acara pembukaan di Tepian Rajo. (9/6/24)

Peran Dukun Jalur
Beberapa orang yang ditemui baik yang berasal dari Taluk Kuantan dan orang luar yang pernah menetap dan penonton merasa ada keberadaan mistik itu, seperti saat start jalur di sungai, dimana anak dayung merasa tangan mereka kaku. Namun secara terpisah Hamidy membantahnya, apa yang seperti diungkapkan Yanhari (55) dan Kurnia Arianto (47) masyarakat yang pernah menonton bahwa peran dukun terhadap lawan yang bisa mengakukan tangan pendayung itu hanya dugaan belaka. Isi peran dukun dalam menentukan kemenangan ditotak juga oleh Sapri  Aprido (37), yang sekarang menjadi pegawai FKIP Universitas Riau. “Tidak ada peran dukun mempercepat atau memperlambat jalur”, kata Sapri yang pernan menjadi pendayung sekala 8 tahun sejak tahun 2003.  Sapri yang lahir di Lumbok Koto Rajo Kuantan Hilir Seberang mengatakan  bahwa untuk menjadi anggota jalur harus lulus seleksi. “Saya pernah gagal jadi Coki karena sering terjatuh, ujar Sapri yang menjadi anggota pendayung jalur Toduong Itam Desa Lumbok, tapi sayangnya jalurnya memang belum pernah menang.

Keberadaan jalur di suatu kecamatan ternyata suatu marwah, terutama desa yang dekat dengan Sungai "Batang" Kuantan. Maka keberadaan jalur adalah bukti ada lelaki yang gagah berani di kampung itu. Menurut Kadis Pariwisata, Kabupaten Kuansing, Azhar bahwa yang paling utama menentukan kemenangan adalah faktor fisik peserta dan latihan rutin. “Jadi yang sifat mistis sangat kecil kemungkinan”, jelas Kadis dengan memberikan contoh. Tim yang jarang latihan selalu kalah.

Agak sulit pula mendekati anak-anak jalur, baik yang pernah atau sedang. Apapali yang sedang bertanding mereka dilarang bicara dengan orang lain. “ Kami sedang dipagar dukun”, jelas seorang sumber yang tidak mau disebutkan nama. "Yang penting masyarakat gembira", kata seorang pengunjung dari Pekanbaru. Rasa gembira ini mendungkung pula pula kegiatan ekonomi. Hal ini diakui oleh Bupati di depan jurnalis saat makan siang di Taluk Kuantan. Malah bukan hanya itu, event pacu jalur juga mengangkat derajat Riau pada event pariwisata di nasional dan internasional.

“Adam”(66) bukan nama sebenarnya - yang pernah 8 kali menjadi juri jalur sejak 1988 mengaku memang sebagian masyarakat merasakan ada keterlibatan dukun pada setiap jalur, itu sebatas utusan saksi juri. ”Adam” adalah utusan khusus mewakili pihak kejaksaan waktu itu, menjadi hakim atas putusan hasil pacu jalur bersama anggota lainnya, yaitu camat, polisi, jaksa dan hakim.  Tim juri biasanya ditempatkan di garis finis, di sana juga ada utusan setiap jalur yang bertanding. “Jika tim mereka kalah langsung ke luar dari tim”, kata “Adam” yang ditemui di rumahnya di Pekanbaru. Dia juga mengakui peran dukun jalur sangat kuat, tapi sekarang sudah berkurang. Kalau dulu, penentuan jalur masuk finis dengan mata telanjang sekarang sudah canggih bisa direplay, jadi kecil kemungkinan terjadi sengketa.

“ Kami terpaksa melototkan mata di tiang finis kiri dan kanan sungai untuk menentukan siapa pemenangnya”, kata atok dua cucu ini. Di zaman dulu, kata Hamidy disinilah terjadi perang dukun melalui mantra-mantranya. Seorang pemuda kelahiran Singingi, Halqi Yusra (30) mengakui peran dukun sekarang sudah kalah dengan android. Makanya anak muda ini menganggap itu hanya mitos saja. Karena prosesnya yang panjang. Awalnya kerja pembuatan diawali dengan memilih batang jalur oleh tokoh adat setempat melalui musyawarah. Pemilihan kayu tidak sembarangan. Pemilihan batang kayu selain panjangnya 40 meter juga yang tak kalah penting kualitas atau daya tahannya. “Maka selalu dipilih kayu meranti”, jelas Samsuro, ketua jalur Kampung Baru Sentajo kepada Tim ekspedisi jurnalistik. Namun, kata Samsuro  untuk dapat kayu seperti itu perlu juga dikira umurnya, yaitu sampai 200 tahun, sehingga umur jalur bisa bertahan sampai 30 -  40 tahun.

Nilai religi yang muncul adalah ketiga jalur yang menang, langsung "anak coki" sujud syukur di depan perahunya. Sementara yang kalah segera merapat untuk memberikan selamat pada yang menang. “Bila jam sholat masuk pacu langsung dihentikan”, tegas Darwis. Selanjutnya Darwis mengatakan, masyarakat sekitar sudah dihimbau untuk membuka lebar rumah mereka kalau ada penonton yang ingin sholat.

Sudah kuatnya nilai religius membuat Hamidy berkesimpulan bahwa hanya ada enam yang membuat jalur menang, yaitu kemampuan tukang concang (komandan), komposisi anak pacu, kerjasama, tukang kemudi, katuak perahu yang kuat, kondisi fisik jalur dan arus sungai. “Jadi saat pacu tak ada unsur mistisnya”, tegas Hamidy dengan yakin.

Tarmizi Ali (57), masyarakat asli Taluk Kuantan, yang pada lomba kali ini menjadi anggota seorang Tim SAR, yang mengawasi jika ada peserta yang terjatuh waktu lomba. Tarmizi yang sehari-hari bertugas di BPBD Kuantan Singingi sebagai sekretaris, hafal betul proses pembuatan lajur. “Semua proses melalui musyawarah”, tambah Tarmisi yang  jadi guru SD ini. Samsuro, menuturkan bahwa sebaiknya jalur yang rusak tidak usah diperbaiki lebih baik dibuat baru. Mengutip pengalaman tukang, kata Syamsuro pekerjaan  memperbaiki selain waktu lama juga biaya lebih mahal, karena itu pelestarian hutan sangat penting. Hal ini memungkinkan karena sudah ada 350 hektar kawasan hutan lindung yang membuat jalur tersedia terus. Pelestariannya didukung oleh semua pemangku adat dan pemerintah.

Proses Membuat Jalur
Pekerjaan membuat jalur setiap desa dilakukan secara gotong royong, karena kalau diupahkan biaya sampai 150 juta rupiah. Walaupun jalur bisa dikerjakan oleh banyak tukang sampan sendiri tapi tukang yang pacunya selalu juara setiap tahun menjadi incaran, karena dia memiliki kiat-kiat tersendiri dalam "menukang" jalur sehingga bisa melaju dengan cepat. Para tukang mengaku mereka diberi insentif oleh pemerintah,  hal itu dibenarkan Kadis Pariwisata, Auzar, di depan wartawan saat makan malam.

Jika proses adat dan izin selesai kemudian baru ditunjuk penebang pohon yang jumlah sampai 4 sampai 5 orang. Sebelum ditebang meminta izin pada penunggu pohon, agar makhluk Allah yang lain itu merestuinya. Dulu, pohon jalur dikerjakan di hutan baru ditarik ke sungai, sekarang kayu dari hutan diboyong dulu dengan alat berat dan bersama masyarakat ke lokasi pembuatan. Pengerjaannya paling cepat dua minggu. Setelah selesai baru dihela menuju sungai secara bersama-sama. Prosesi menghela jalur suatu tradisi yang sangat unik, karena akan melibat seluruh masyarakat tumpah ruah turun ke jalan. Tak usah ditanya dari mana uangnya, karena itu sudah menjadi ladang "ibadah" satu kampung tak peduli si kaya atau si miskin. “Menonton pacu jalur bisa juga menjadi obat, yang sakit bisa sembuh”, kelakar Darwis yang dikenal sebagai komentator pacu jalur handal ini.

Secara singkat Hamidy mengulang tahapan pacu jalur yang pernah ditulisnya dalam buku  berjudul “Kesenian Jalur di Rantau Kuantan Riau pada tahun 1986, yaitu enam tahap: rapat banjar, mencari kayu, menobang, menentukan tukang, membuat jalur dan maelo jalur. Durajat (52) seorang pengunjung berdarah jawa yang sudah empat kali menonton pacu jalur mengatakan bahwa ketika jalur bertanding seluruhnya masyarakat  turun ke pinggir sungai memberi semangat, karena bangga memiliki jalur dari desanya dan rela berkorban waktu mulai anak-anak, remaja, orang tua, nenek/atuk walaupun dalam keadaan sakit. “Kecuali orang melahirkan dan lumpuh”, tegas Durajat agak heran ketika menyampaikan kesannya melalui ponselnya.

Kepatuhan pada pemimpin adat adalah suatu modal menciptakan jalur. Pemimpin adat benar-benar duduk di atas semua kepentingan bersama. Baik urusan ke atas maupun ke bawah. Hutan lindung dapat tunak dimanfaatkan jika untuk kepentingan umum masyarakat oleh kedudukan yang tinggi yang diberikan pemerintah. Nilai akhlak yang terkandung dalam pacu jalur adalah bagaimana para peserta jalur menerima kekalahan dengan jantan. Setelah selesai berpacu mereka "diwajibkan" saling merangkul, bersalaman. Memang yang kalah bukan hanya menunduk, tapi ada juga yang menangis.

Nilai Ekonomis
Pada saat pacu jalur di gelar, dimulai perrayon, pada bulan juni dan sampai pada tingkat kabupaten di bulan agustus kegiatan ekonomi jadi semarak. Situasi ini menurut Bupati dapat mengembangkan pendapatan rakyat, karena pada event ini pesertanya bukan hanya dari desa kabupaten Singingi juga ada dari desa Kabupaten Indragiri Hulu.

Sementara pengunjungnya selain perantau dari kabupaten ini juga dari masyarakat di pulau sumatera, seperti dari Sumbar, dan ada juga dari luar sumatera, malah ada dari luar negeri, Malaysia Singapura dan Brunei “Namun, karena kita belum ada hotel bintang lima”, keluh bupati, sehingga mereka harus menginap di Pekanbaru. Bupati berharap ke depan ada investor yang berMaminat membangun hotel. Namun Syafril Manaf, yang juga pengusaha mengatakan sulit membangun hotel.“Jika kita buat kamar hotel banyak larisnya hanya waktu pacu Jalur saja” tegas Syafril Manaf, pelaku bisnis penginapan ini yang dihubungi secara terpisah di Kota Pekanbaru.

Namun Bupati tetap optimis karena  jarak Kuansing dengan Ibu Kota Provinsi Riau 165 km bisa ditempuh dalam 4 jam dengan mobil. Lagi pula daerah ini tidak ada rawa. Masih ada potensi lain, seperti air terjun pada kawasan hutan yang luas dengan airnya jernih. Sementara Hamidy menutup katanya dengan cantik, jalur dianggap masyarakat kuantan seperti makhluk hidup, makanya mereka merawatnya seperti manusia.

Penulis : Said Suhil Achmad



BACA JUGA

Comments (3)

  • Logo
    - Tahmina Akthr

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Velit omnis animi et iure laudantium vitae, praesentium optio, sapiente distinctio illo?

    Reply

Leave a Comment



Masukkan 6 kode diatas)