Suara Lirih Srikandi Pendidikan Riau Itu Oleh: Khairul Azwar Anas

Logo
Khairul Azwar Anas, S.H.,M.H.

RIAUHITS.COM, Sepekan ini, khusus dalam empat hari terakhir ini, konsentrasi publik Kota Pekanbaru tertuju pada berita viral, baik melalui akun Instagram, TikTok, berita online maupun media sosial lainnya, yang substansinya menyatakan bahwa Rektor Universitas Riau (Unri) melaporkan mahasiswanya ke aparat penegak hukum. Persoalan inilah yang memicu reaksi publik yang pada intinya melakukan pembelaan terhadap mahasiswa dan mengkritik, bahkan cenderung menghujat sang Rektor.

Tulisan ini dibuat tidak pada posisi melakukan pembelaan, tetapi lebih pada upaya mendorong bagaimana publik berpikiran jernih dan berpikir rasional ketimbang emosional, karena di era post truth (pasca kebenaran) dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

Sependek informasi yang saya ketahui, bahwa starting point persoalan ini terkait dengan adanya postingan pada akun Instagram yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Penggugat, bukan oleh personal ataupun badan hukum sebagai subyek hukum. Letak persoalannya tidak pada kritik atas kenaikan kebijakan uang kuliah (baik penerapan IPI maupun UKT), tetapi terletak pada bagian kalimat dalam postingan tersebut yang pada intinya menyatakan bahwa 'Sri Indarti broker pendidikan Universitas Riau'.

Silakan kita resapi makna dan arti kalimat tersebut, apakah masih dalam kategori kritik atau sudah menjurus pada 'serangan' harkat dan martabat seseorang, dalam hal ini tentu 'serangan' terhadap Sri Indarti. 

Bagi kita yang mengagung-agungkan kebebasan individu, pasti akan membela habis-habisan bahwa tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Itulah risiko pejabat publik dan apa yang disampaikan tersebut bagian dari fredoom of speech (kebebasan menyampaikan pendapat).

"Kalau takuik dilamun ombak ijan barumah di tapi pantai," begitu kata pepatah luhur dalam Masyarakat Minang Kabau. Begitu kira-kira cara pandang pihak-pihak yang melihat persoalan ini sebagai bagian dari kebebasan individu tanpa batas.

Tapi jika dilihat dari aspek sosio kultural yang disaripatikan melalui lima sila dalam Pancasila, patut kita pertanyakan apakah patut seorang mahasiswa menyampaikan kalimat seperti itu terhadap seseorang yang akan menandatangani ijazahnya bahkan menggeser toganya ketika akan diwisuda? Apakah pantas seorang mahasiswa menyampaikan kalimat tersebut dalam relasi mahasiswa dengan dosen?

Kita pasti akan punya cara pandang yang berbeda. Bagi kita yang tak merasakan, pasti akan bilang 'ala itu aja cemen'. Tapi bagaimana jika hal tersebut terjadi pada diri kita atau keluarga kita? Tepuk dada tanya selera, mungkin jawaban masing-masing kita akan beragam, jadi sekali lagi bukan terkait kritik atas policy (kebijakan) sang Rektor.

Selaku Rektor, sebetulnya Sri Indarti sudah berupaya mencari informasi terkait kebenaran postingan tersebut terutama siapa pemilik atau setidak-tidaknya pengelola akun dimaksud. Opini yang berkembang 'mengapa tidak diselesaikan secara internal saja? Bukankah relasinya orang tua dan anak?'.

Statemen-statemen seperti ini muncul ke ruang publik. Sekali lagi obyek yang dipersoalkan itu akun Instagram yang tidak diketahui siapa pemiliknya, dan dalam postingan tersebut tidak ada bukti fakta bahkan petunjuk yang menyatakan siapa pemilik akun. Lantas siapa yang mau dipanggil?

Selaku Rektor, Sri Indarti tidak punya instrumen untuk membuktikan itu, kecuali melakukan tiga tugas pokok Perguruan Tinggi (Tri Dharma Perguruan Tinggi) yakni pendidikan/pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat. Itu saja.

Mengapa Harus Ke Polisi
Tidak sedikit reaksi publik yang menyayangkan sikap perempuan berwajah teduh ini dengan membuat laporan ke polisi. Bukankah dalam negara hukum yang demokratis itu merupakan prosedur formal yang disediakan bagi warga negara untuk mendapat keadilan.

Dalam relasi dosen dan mahasiswa, apalagi relasi rektor dan mahasiswa ini menjadi sesuatu yang sensitif tentunya, karena dari aspek sosio-kultural bacaan publik seperti pertarungan 'Gajah dan Semut' atau 'Mau menangkap tikus masak lumbungnya yang dibakar'.

Bacaan ini lah yang muncul hari-hari ini dalam peristiwa ini. Tapi perlu dijelaskan bahwa sebagaimana yang sudah disampaikan dalam pemberitaan luas, maksud dari pelaporan itu tidak dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap mahasiswa melalui integrated criminal justice sistem. Itulah sebabnya mengapa dari awal mekanisme yang ditempuh melalui pengaduan masyarakat (dumas) tidak melalui Laporan Polisi (LP) agar ada fleksibelitas dalam menutup aduan tersebut, yang memang dari awal tidak ada niat sang Rektor ke arah tersebut.

Apalagi ketika sudah diketahui siapa pelakunya, jika mahasiswa akan diberikan nasihat agar bijak dan arif dalam menyampaikan pendapat, saran dan kritikan. Adakah yang salah dengan cara pandang demikian? Tapi nasi sudah jadi bubur, opini publik sudah terbentuk bahwa Rektor melaporkan mahasiswanya ke polisi.

Tafsir inilah yang berkembang ke aras publik yang pada akhirnya dimaknai sebagai fakta yang sebenarnya. Padahal dalam asas hukum kesaksian yang didapat dari orang lain (testimonium de auditu) saja tidak dikualifisir sebagai saksi dalam pembuktian, apalagi para netizen yang hanya membuat kesimpulan dari apa yang dibaca.

Tapi inilah era post truth era dimana kebenaran dimonopoli oleh perspektif yang ada dalam pikiran bukan fakta, bahkan jari jemari kita pun semangat membuat comment dan ngeshare pemberitaan yang terkadang kita tak tau ujung pangkalnya.

Kasus Selesai
Sebagaimana jamak kita ketahui bahwa pada akhirnya selaku Rektor Sri Indarti membuat pernyataan bahwa kasus ini sudah selesai, yang pada substansinya menyatakan pada poin pertama pernyataan bahwa ada misinformasi. Dari curahan hati sang Rektor ia menyatakan, 'Jika ke depan masih ada hal-hal seperti ini biarkan sajalah, silakan saja apa nak dibuat mahasiswa buat, saya letih juga.' Begitu kira-kira keluh kesah beliau.

Tentunya cara pandang seperti ini akan sangat berbahaya dalam konteks kita sebagai pendidik. Bukankah tugas pendidik itu meluruskan sesuatu yang bengkok, menjernihkan sesuatu yang keruh, serta mencarikan solusi yang terbaik.

Tentunya dari peristiwa ini dapat dipetik hikmah bahwa tidak semua maksud baik itu akan dibaca di ruang publik sebagai sesuatu yang baik, jika informasi yang sampai tidak utuh dan sepenggal.

Bagi kita masyarakat tentunya juga harus secara jernih melihat setiap informasi melalui media sosial, jangan sampai jari jemari kita justru mendatangkan dosa-dosa yang tanpa kita sadari yang kelak di akhirat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa, karena di era post truth ini kita dihadapkan pada situasi yang lebih mengedepankan emosional ketimbang rasional sebagai akibat teks-teks yang kita baca di media sosial.

Bagi sang Rektor, biarlah segala kesalahpahaman itu menjadi amal jariyah sebagai penghapus dosa, dan suara lirih Srikandi Unri saat menyampaikan press release lalu menjadi pelajaran bagi kita semua untuk mencari hikmah atas peristiwa ini. Teruslah menjadi pendidik. 'Dipuji tidak terbang, dikritik tidak tumbang', karena benar kata pepatah kuno Belanda sebagaimana dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita: Leiden is lijden!" memimpin adalah Menderita. Keep spirit 'Srikandi Unri’.(***)



BACA JUGA

Comments (3)

  • Logo
    - Tahmina Akthr

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Velit omnis animi et iure laudantium vitae, praesentium optio, sapiente distinctio illo?

    Reply

Leave a Comment



Masukkan 6 kode diatas)